Haba Rakyat
LANGSA: Jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dalam sebuah negara merupakan perkara yang sangat penting, namun
mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial sama juga dengan memalak rakyat
untuk kepentingan pihak ketiga sebagai pengelola uang yang dikutip dari rakyat.
Demikian antara lain pernyataan yang dibuat
DPD II Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Langsa menanggapi keberadaan UU nomor
24 Tahun 2011 tentang Badan Perngelola Jaminan Sosial (BPJS) dan UU nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di
Langsa, Minggu (25/11).
Ketua DPD II HTI Kota Langsa Iqbal, S.HI
mengatakan, seharusnya melalui program jaminan sosial bisa
dipastikan seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial baik dalam
bidang kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan maupun jaminan hari tua. Namun
dalam kedua UU itu justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola
oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial. Hal ini seperti disebutkan dalam UU
40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan
secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga
Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan
secara jelas bahwa jaminan sosisal itu diselenggarakan berdasarkan prinsip
asuransi sosial.
Demikian juga dalam Pasal 17
ayat (1), (2), (3) juga disebutkan bahwa peserta harus membeli premi guna
melindungi dirinya sendiri dari bencana sosial. Apalagi ayat (2) Pasal 17,
mengharuskan pemberi kerja memungut sebagian upah pekerjanya untuk dibayarkan
ke pihak ke tiga yang notabene milik pemerintah.
Tentang prinsip asuransi
sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS dimana pada
Pasal 1 huruf g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS
menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan
yang bersifat wajib. Bila ini asuransi, dan bersifat gotongroyong (huruf a
Pasal 4), mengapa peserta diwajibkan. Juga disebutkan dalam huruf b) prinsip
nirlaba. Tapi mengapa dibolehkan adanya investasi dan pencarian manfaat
(istilah lain dari keuntungan), yang tentu saja terbuka kemungkinan terjadi
kerugian.
Maka, berdasarkan telaahan
terhadap dua UU tersebut, kata Iqbal, pihaknya menilai, kedua UU ini secara fundamental telah
mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban
rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial.
Padahal makna ‘jaminan sosial’
jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Jaminan sosial adalah
kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial,
rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus
melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan
sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan
pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi
maupun penyakit yang diderita. Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk
akad batil dan diharamkan syariat Islam.
Selain itu, tambahnya, UU
ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis.
Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya
sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat
didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial
direduksi menjadi marjinal residual.
Sementara kepentingan bisnis
justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial. Ini tentu sangat berbahaya
karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa
pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban
semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis
global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha
asuransi.
Hal ini sudah terbukti di
mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi
nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan
antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11
huruf b dimana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan
sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme
yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar