Senin, 24 Desember 2012

Hizbut Tahrir Kota Langsa Minta Pemerintah Batalkan UU BPJS dan UU SJSN





Haba Rakyat 

LANGSA: Jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam sebuah negara merupakan perkara yang sangat penting, namun mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial sama juga dengan memalak rakyat untuk kepentingan pihak ketiga sebagai pengelola uang yang dikutip dari rakyat.

Demikian antara lain pernyataan yang dibuat DPD II Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Langsa menanggapi keberadaan UU nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Perngelola Jaminan Sosial (BPJS) dan UU nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di Langsa, Minggu (25/11).

Ketua DPD II HTI Kota Langsa Iqbal, S.HI mengatakan, seharusnya melalui program jaminan sosial bisa dipastikan seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial baik dalam bidang kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan maupun jaminan hari tua. Namun dalam kedua UU itu justru mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial. Hal ini seperti disebutkan dalam UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosisal itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial. 


Demikian juga dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3) juga disebutkan bahwa peserta harus membeli premi guna melindungi dirinya sendiri dari bencana sosial. Apalagi ayat (2) Pasal 17, mengharuskan pemberi kerja memungut sebagian upah pekerjanya untuk dibayarkan ke pihak ke tiga yang notabene milik pemerintah.

Tentang prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS dimana pada Pasal 1 huruf g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib. Bila ini asuransi, dan bersifat gotongroyong (huruf a Pasal 4), mengapa peserta diwajibkan. Juga disebutkan dalam huruf b) prinsip nirlaba. Tapi mengapa dibolehkan adanya investasi dan pencarian manfaat (istilah lain dari keuntungan), yang tentu saja terbuka kemungkinan terjadi kerugian. 

Maka, berdasarkan telaahan terhadap dua UU tersebut, kata Iqbal, pihaknya  menilai, kedua UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. 

Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Jaminan sosial adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk akad batil dan diharamkan  syariat Islam.

Selain itu, tambahnya, UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. 

Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial. Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi. 

Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b dimana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.

Berkenaan dengan hal itu, maka pihaknya meminta kepada pihak terkait untuk membatalkan kedua UU tersebut karena bila diberlakukan akan makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Mereka hanya akan menjadi obyek pemalakan dengan kedok jaminan sosial, sehingga rakyat yang sudah menderita akan semakin sengsara, demikian Iqbal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar