“Kota Kucing Garong” Sebuah Usulan Untuk Lakap
Oleh
Ibnu Sa’dan
LEMBAGA Dewan Perwakilan Rakyat Kota Langsa sekarang ini sedang mendapat ujian berat. Tantangan untuk menelusuri dan membawa kembali uang yang hilang senilai Rp. 36 Milyar taruhannya bukan lagi sekedar jabatan ketua dewan. Melainkan nama baik daerah pun bakal tercemar sepanjang masa. Pasalnya, jika janji ketua dewan yang telah diucap kepada elemen sipil gagal diwujudkan, sebuah nama bakal dilekatkan sebagai julukan. Drafnya sudah dipersiapkan, tinggal menunggu pengesahan, “Kota Kucing Garong”, itulah gelar yang diusulkan.
Gelar yang cukup memalukan ini tidak lahir secara dadakan. Tetapi melalui diskusi-diskusi panjang yang dilakukan sejumlah elemen sipil di sebuah warung kopi Simpang Tiga Belok Kiri. Diskusi-diskusi ini mulai intesif dilaksanakan, setelah elemen sipil melakukan audiensi yang berujung pada janji ketua DPRK Langsa, Zulfri, ST, akan membentuk sebuah pansus, dan siap mempertaruhkan jabatan jika dalam bekerja mereka mendapat tantangan di lapangan. (Waspada, Rabu, 9/6).
Alasan nama tersebut yang bakal diusung sebagai julukan juga sudah mengalami proses pertimbangan yang cukup matang. Bahkan sudah melawati tahapan analisis yang mendalam, bahwa gelar “Kota Kucing Garong” memang sangat cocok disemat, sebab sejak terbentuknya Pemerintah Kota Langsa cukup benyak peristiwa yang berkaitan dengan keuangan yang hilang atau terbuang terjadi di sini. Selain uang tunai senilai Rp. 36 Milyar yang digarong dari kas pemerintah dan hingga sekarang belum kembali, ternyata masih banyak lagi dana-dana lain yang dicuri secara kucing-kucingan.
Modusnya berbagai rupa. Ada yang terjadi secara kasat mata, dan ada pula melalui rekayasa-rekayasa sehingga pencurian uang rakyat itu berlangsung terselubung. Pencurian yang tidak sedikit merugikan uang negara secara kasat mata itu antara lain melalui kerjasama segitiga kongkalikong antara pejabat pemerintah, anggota dewan dan pengusaha nakal. Caranya mereka ciptakan proyek-proyek mubazir bernilai milyaran rupiah setiap tahun kemudian ditinggalkan tanpa lanjutan. Contohnya, penimbunan jalan kuala, pembangunan TPI, pemindahan warga Pusong, dan pembelian sejumlah tanah dengan harga yang tidak masuk akal.
Sementara yang terselubung, tentunya sulit dihitung karena wujudnya seperti angin yang keluar dari lubang anus. Baunya cukup terasa tetapi sulit dibuktikan. Contohnya penggunaan anggaran SPPD yang tiap tahun tidak pernah bersisa. Perjalanan dinas dan studi banding selalu lancar tidak pernah terdengar ada hambatan, sementara gaji tenaga honor, jerih payah perangkat desa, dan pembayaran langganan koran selalu tertunggak berbulan-bulan.
Fakta-fakta tersebut menjadi alasan kuat untuk pembenaran, mengapa gelar “Kota Kucing Garong” layak ditabalkan. Karena jika janji Ketua DPRK Langsa kepada Ormas, OKP, mahasiswa dan pers, untuk menelusuri Rp. 36 Milyar saja uang yang hilang itu tidak mampu dilaksanakan, dapat diduga mereka memang tidak serius melaksanakan. Sama seperti usaha untuk mengambil aset dari Pemkab Aceh Timur yang dilakukan hanya sekedar basa basi saja. Karena jika aset yang banyak berupa kantor dan pendopo itu sudah dikuasai Pemko Langsa, kesempatan untuk menyewa sejumlah toko dan rumah pribadi bisa tidak ada lagi.
Diskusi para elemen sipil di warung kopi Simpang Tiga Belok Kiri ini sudah rampung dilaksanakan. Dan kesimpulannya pun sudah dibukukan. Tinggal sekarang menunggu moment yang tepat, apakah para anggota dewan Kota Langsa sudah siap menggelar rapat. Dan rapat tersebut apakah untuk menyusun strategi agar dapat membawa kembali uang rakyat yang sudah ditilap, atau untuk mensahkan sebuah qanun baru “Kota Kucing Garong” sebagai sebuah lakap.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar