Jumat, 18 Juni 2010

Aceh Timur Dan Kota Langsa Sama-sama Makin Merana

Alam Pegang Kuasa
Oleh Ibnu Sa’dan
SEBELUM terjadi pemekaran, Kabupaten Aceh Timur terkenal sebagai wilayah Aceh yang makmur, dan Langsa sebagai ibukotanya terkenal sebagai kota yang kaya. Banyak orang dari daerah lain datang kemari untuk mengadu nasib, mencari peruntungan, dan umumnya memang berhasil. Ada yang sukses di pemerintahan menjadi pegawai negri lalu dapat jabatan, dan ada pula yang sukses di bidang swasta seperti pada sektor niaga, pertambakan, kontraktor, serta berbagai sektor lainnya.
Alam pegang kuasa, hari berganti tahun bertukar. Setelah terjadi pemekaran, Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa sama-sama jadi merana. Air, tanah, angin, dan api bukan itu penyebabnya, karena di dua daerah ini tidak ada kerusakan yang signifikan akibat bencana. Bahkan dari dulu hingga sekarang, sepertinya alam begitu manja memperlakukan warga. Tapi kenapa juga Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa tidak berkembang? Malah makin terpuruk dibandingkan dengan masa lalunya.
Buah khuldi dari pekarangan siapa gerangan yang telah dipetik dari pohonya, sehingga warga di dua daerah ini seperti mendapat hukuman harus menjauh dari hidup bahagia. Ibarat yatim piatu yang diterlantarkan walinya, setiap warga dengan terpaksa harus berjuang sendiri-sendiri melawati semua tantangan hidup yang mengintainya sepanjang masa. Pimpinan pemerintahan dan anggota dewan yang telah mereka pilih semuanya sibuk dengan urusan sendiri, sehingga tidak sempat memikirkan nasib rakyat.
Jalan-jalan yang rusak, jembatan yang putus, pengangguran yang makin bertambah, dan berbagai kebutuhan rumah tangga yang makin sulit dipenuhi, itu semua adalah resiko hidup yang harus ditanggung sendiri oleh warga. Kalau ada yang mengeluh barangkali jawaban yang diperoleh dari orang-orang yang seharusnya memberi solusi; “Siapa suruh tinggal di sini?”
Maka itu tidak heran, jika di Langsa dan Aceh Timur sekarang ini tidak terdengar adanya gejolak yang berarti dalam masyarakat. Semua warga sudah dapat bersikap arif dan bijakasana, tidak ada yang melakukan protes, tidak ada demontrasi, kecuali hanya bicara saja antar mereka sendiri di warung-warung kopi, di tempat-tempat kenduri, dan dimana saja mereka sering bertemu termasuk saat menunggu jenazah dimakamkan bila ada orang yang mati.
Pokok pembicaraan pada tempat-tempat yang tidak pernah didengar pejabat pemerintah dan anggota dewan itu, selalu mengusung satu tema yang paling seru, yaitu mengumpat pimpinan daerahnya yang dianggap sudah pekak, tuli, dan bisu. Nuansa frustasi terdengar di mana-mana. Mereka mengeluh dan menyatakan penyesalan, telah memilih pimpinan yang tidak sesuai dengan harapan.
Berbagai fakta bukti pimpinan daerah tidak peduli lagi terhadap rakyat pun meluncur dari mulut-mulut hadirin pada setiap ada pertemuan informal dalam masyarakat. Mulai dari kondisi berbagai sarana umum yang carut marut hingga sulitnya membayangkan wajah kepala daerahnya karena tak pernah lagi turun ke desa-desa, menjadi bahan pembicaraan antar mereka.
Demkkianlah pembicaraan dalam masyarakat belakangan ini, bukan karena air, tanah, angin , dan api penyebabnya sehingga mereka makin merana. Melainkan karena ada pengkhianatan dari pimpinan yang dinilai sedang mabuk dengan kekuasaan, asyik jalan-jalan, suka berfoya-foya, dan telah lupa kepada janji-janjinya. Adakah yang mendengar keluahan warga tersebut? Kita berharap semoga kesadaran tidak datang terlambat!***

1 komentar: