Masih
ingatkah Anda catatan sejarah tentang sumbangan masyarakat Aceh untuk
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia? Saat itu masyarakat Aceh
menyumbangkan emas kepada pemerintah RI untuk membeli pesawat tahun 1948.
Sebagian emasnya masih dapat Anda lihat kini pada tugu Monas (Monumen
Nasional).
Hal
ini bukan satu-satunya bukti kedermawanan rakyat Aceh. 200 tahun lebih
sebelumnya, masyarakat Aceh telah mempraktekkan salah satu ajaran Islam yaitu, “tangan
di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”.
Abad
ke-17 Masehi (1672) dikabarkan Syarif Barakat penguasa Mekkah saat itu
tengah berbenah diri membangun kota Mekkah terutama masjid-masjid yang memiliki
nilai sejarah Islam. Syarif Barakat berupaya mencari sumbangan untuk
pemeliharaan Masjidil Haram mengingat kondisi Arab pada saat itu kekurangan
dana.
Masjid
Al-Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Mekkah ternyata terkait dengan
sumbangsih Kesultanan Aceh Darussalam yang tak banyak diketahui ceritanya. Ada
banyak sekali harta wakaf dari rakyat Aceh berupa barang maupun tanah
masih tersimpan di Arab Saudi.
Hingga
kini, simbol rasa terima kasih diberikan penguasa Mekkah terhadap keluarga dari
Kesultanan Aceh Darussalam dengan pemberian gelar Al Asyidi sana. Ada
banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan di Kerajaan Saudi
Arabia. Salah satunya adalah Syech Abdul Ghani Asyi (alm) yaitu mantan Ketua
Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Dr jalal Asyi mantan Wakil Menteri Kesehatan
Arab Saudi (alm), DR Ahmad Asyi mantan Wakil Menteri Haji dan Wakaf.
Tahun
1672 Syarif Barakat mengutus duta besarnya ke kerajaan Moghul di New Delhi
untuk mengingatkan lagi tentang pentingnya sumbangan dari kerajaan-kerajaan
yang digunakan untuk mempertahankan eksistensi Mekkah dan peradaban Islam
lainnya. Namun, saat itu Raja Aurangzeb (1658 – 1707) dari Kerajaan Moghul
belum mampu memenuhi permintaan Syarif Barakat. Rombongan duta besar dari Tanah
Hijaz ini tersendat di Moghul selama 4 tahun dan bahkan tak belum sempat
bertatap muka dengan Sang Raja.
Akan
tetapi, dari sini duta Syarif Barakat disarankan untuk mengumpulkan dana
pemeliharaan Tanah Hijaz, Mekkah dan Madinah, dengan melanjutkan rute
kafilah ke ujung Pulau Sumatera, yaitu menuju Kesultanan Aceh Darussalam.
Akhirnya kafilah ini pergi ke Aceh dan bertemuseorang ratu dengan gelar Sri
Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678 – 1688). Saat itu Ratu tersebutsedang
mendapat perlawanan dari kaum Wujudiyah yang tidak ingin dipimpin oleh seorang
perempuan.
Dengan
kefasihannya dalam berbahasa Arab, Sri Ratu Zakiatuddin menerima utusan Syarif
Barakat. Mereka dialog dengan bertabirkan kain. Sungguh senang rombongan
tersebut dapat berjumpa langsung dengan penguasa Kesultanan Aceh Darussalam
dimana tidak mereka dapatkan selama 4 tahun Kerajaan Moghul.
Setelah
beberapa lama tinggal di Aceh, rombongan ini akhirnya mendapat dukungan penuh
dari Sri Ratu Zakiatuddin. Mereka pulang ke Mekkah dengan membawa berbagai
tanda mata sebagai simbol dukungan, yaitu: tiga kinthar emas murni, tiga rathal
kamper (camphor), kayu cendana, dan juga binatang pencari kopi terbaik yaitu
musang atau luwak (civet). Selain itu dibawa pula hadiah berupa tiga gulyun
emas, yaitu alat penghisap tembakau, tiga lampu kaki dari emas (panyot dong) ,
lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, dan lampu kaki serta kandil
emas untuk disimpan di Masjid Nabawi.
Pada
bulan September 1683, rombongan ini sampai kembali di tanah asal mereka,
Mekkah. Sementara itu di Aceh selepas kepergian duta Arab terjadi pergantian
kekuasaan dimana Sri Ratu Zakiatuddin yang meninggal dan digantikan oleh
adiknya Sri Ratu Kamalatsyah yang bergelar Potroe Punti. Berikutnya Putroe
Punti diganti suaminya yang merupakan anggota rombongan duta besar Arab yang
berkunjung, yaitu Syarif Hasyim.
Sementara
di Mekkah juga terjadi perdebatan mengenai cenderamata yang dibawa rombongan
duta besar dari Aceh tersebut. Syarif Barakat ternyata telah meninggal dunia
dan digantikan putranya, Syarif Said Barakat.
Barang
hadiah dari Kesultanan Aceh Darussalam sempat disimpan lama di rumah Syarif
Muhammad Al Harits. Berikutnya dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas
tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin.
Sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Peninggalan
Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas dan barang hadiah lainnya tetapi
harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini yaitu tanah. Salah satunya adalah
wakaf Habib Bugak Asyi di hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada 18 Rabiul
Akhir tahun 1224 H. Habib Bugak Asyi menyatakan keinginannya untuk mewakafkan
sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat untuk
dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah.
Ada
banyak tanah wakaf orang-orang Aceh di Mekkah yang saat itu menjadi tradisi
sumbang menyumbang di Tanah Hijaz. Semua harta wakaf dari masyarakat Aceh masih
tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia. Berikut ini di antaranya:wakaf
Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah di Qassasyiah;
wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina; rumah wakaf di kawasan Baladi
di Jeddah; wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng), wakaf
Muhammad Abid Asyi; wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi; wakaf Datuk Muhammad
Abid Panyang Asyi di Mina; wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina; rumah Wakaf
di Taif; rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah; rumah Wakaf di kawasan
Hayyi Al-Raudhah; Mekkah; rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah; wakaf
Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah (belum diketahui
pewakafnya); Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah
binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah; rumah wakaf Syech Abdurrahim bin
Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Ge
Tidak ada komentar:
Posting Komentar