Senin, 13 Desember 2010

Budaya Menulis di Kalangan Guru

Oleh Dra. SULISTYOWATI

DI antara sekian tugas yang berkaitan dengan angka kredit untuk kenaikan pangkat guru, yakni pengembangan profesi. Pengembangan profesi dicapai antara lain dengan melaksanakan kegiatan karya tulis/karya ilmiah di bidang pendidikan. Bagi guru golongan IV/A yang akan naik ke jenjang/golongan berikutnya, menulis karya ilmiah menjadi hal yang wajib sifatnya.

Hal itu disebabkan semakin tinggi golongan/jenjang jabatan guru tersebut (guru golongan IV/A disebut juga guru pembina), diharapkan guru tersebut semakin profesional dan kompeten, yang dapat dibuktikan melalui hasil karya tulisnya. Untuk naik ke jenjang golongan IV/B, guru harus mengumpulkan minimal 12 angka kredit dari pengembangan profesi. Tuntutan tersebut sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 0433/P/1993 dan No. 25/1993, tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Bermacam-macam karya tulis dapat dihasilkan, dengan tingkatan perolehan angka kredit bervariasi. Misalnya menulis buku, makalah, buku pelajaran/modul, diktat pelajaran, dan tulisan ilmiah populer di bidang pendidikan dan kebudayaan yang disebarkan melalui media massa.

Nilai angka kredit terbesar diperoleh bila guru dapat membuat buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional, yaitu 12,5. Sedangkan nilai angka kredit terkecil diperoleh bila guru kreatif membuat diktat pelajaran, untuk konsumsi siswanya.
Yang paling menguntungkan, apabila guru menulis untuk konsumsi media massa (tulisan ilmiah populer), selain dapat menyebarkan ilmunya kepada masyarakat, juga mendapat nilai angka kredit, dan tentunya honor sebagai hasil jerih payah menulis. Siapa yang tidak tergiur untuk menekuni karya tulis yang terakhir ini?

Selain itu, seorang guru adalah seorang pemberi teladan bagi para siswanya. Menurut Earl V. Pullias dan James D. Young dalam bukunya Guru Makhluk Serba Bisa (terjemahan Ibrahim Anang, P.T. Alma Arif, Bandung), Makin efektif seorang guru, makin kuat ia sebagai teladan.

Hal tersebut berkaitan dengan Kurikulum 2004, di mana standar kompetensi peserta didik (siswa) dikembangkan oleh pakar pendidikan bidang studi (guru). Sekaligus mengacu pada prinsip-prinsip, di antaranya prinsip pengembangan kecakapan hidup melalui budaya menulis. Sehingga kalau siswa dituntut untuk menunjukkan bahwa hasil mempelajari mata pelajaran tertentu, berupa keterampilan menulis (mengarang), guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru, idealnya juga menguasai keterampilan mengenai tulis-menulis.

Bagaimanapun kalau seorang guru itu penulis, diharapkan dapat mengoreksi hasil karya tulis siswa dengan benar. Baik menyangkut sistematika, ejaan, teknik penulisan, penggunaan bahasa, dsb.

Kendala dan solusi

Tidak mudah menuangkan gagasan/¬ide ke dalam bentuk tulisan, kalau tidak ditunjang dengan kebiasaan membaca. Kendala lain, waktu guru lebih banyak tersita untuk mengajar dan mengoreksi hasil ulangan. Ba¬yangkan kalau seorang guru, untuk memenuhi tuntutan dapur agar te¬tap ngebul, harus mengajar di tiga tempat, bahkan lebih, dengan jam mengajar yang padat, sampai di rumah sudah lelah. Di sela-sela istirahat, masih harus mengoreksi ulangan.

Hambatan lain mengapa kecenderungan guru menulis lemah karena tidak adanya motivasi untuk menulis. Dalam mengajar, guru terpaku kepada buku paket sehingga jangankan menulis diktat pelajaran, dalam membuat (menulis) soal pun mengambil dari beberapa buku paket/buku pegangan, dengan titik dan koma yang sama. Kendala-kendala tersebut menyebabkan guru dengan golongan/ruang IV/A mendominasi Daftar Urutan Kepangkatan (DUK) di tiap sekolah.

Bagi guru, sebetulnya banyak sekali sumber-sumber yang dapat digali menjadi tulisan. Sumber tersebut dapat berasal dari siswa, guru, masyarakat sebagai orang tua siswa, hasil mengikuti seminar/penataran, dsb. Dari hasil pengamatan/penelitian terhadap lingkungan tersebut, kemudian dianalisis, kalau ada permasalahan diberi solusi.

Bahkan guru dapat menuangkan inovasi/daya kreativitasnya dalam mengajar dalam bentuk tulisan, sehingga hasil penemuannya dapat dimanfaatkan oleh guru-guru lain. Minat guru dalam menulis dapat pula dimulai dengan membuat soal ulangan sendiri sesuai dengan kisi-kisi.

Seorang guru dalam menulis karya tulis/karya ilmiah sebaiknya dilandasi visi dan misi, karakter yang baik dan kreativitas yang orisinal. Pendapat tersebut berangkat dari kenyataan yang ada saat guru mengajukan karya tulis. Menurut salah satu sumber dari tim pengkaji karya ilmiah guru dari salah satu organisasi profesi, ditemukan kasus adanya karya ilmiah guru yang tidak logis, tidak kompak (utuh dan bulat), tidak sistematis, tidak relevan, dan tidak objektif. Mental menerabas ini kalau datangnya dari sosok guru, sungguh ironis dan memprihatinkan.

Karena itu, perlu ada upaya dari pimpinan instansi terkait untuk mengadakan/mengikutsertakan guru-gurunya mengikuti pelatihan karya tulis. Kini banyak bermunculan pelatihan karya tulis/karya ilmiah, dan klub penulisan yang diadakan oleh organisasi profesi maupun masyarakat. Insya Allah, bagi guru menulis itu banyak manfaatnya, baik untuk jenjang karier, menambah penghasilan, maupun untuk sekadar memenuhi kebutuhan psikologis.***
Penulis, guru SMA Negeri 20 Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar