Jumat, 22 Oktober 2010

Kota Langsa, Antara Karakter Orangtua Dan Bandar Judi

Kota Langsa, Antara Karakter Orangtua Dan Bandar Judi

Oleh Ibnu Sa’dan

Karakter kota secara umum ada dua, banyak kota yang berkarakter seperti orangtua, melindungi warga seperti anak, menghormati tetangga, dan menyambut pendatang. Tapi ada pula kota yang berperangai seperti bandar judi, mencandu kemewahan, memberi kesempatan pada siapa saja untuk mempertaruhkan apa saja, lalu mencampakkan yang kalah tanpa ampun.

Masuk kemanakah karakter Kota Langsa sekarang ini? Untuk memberi jewaban secara tepat agaknya terasa sulit, namun sepertinya masih berada diantara dua karakter tersebut, tidak termasuk secara penuh ke dalam karakter orangtua dan agak mendekati pada karakter bandar judi.

Tidak masuk dalam kategori orangtua karena belum sepenuhnya menyayangi warga seperti anak. Bahkan ekses pembangunan yang berjalan sejak pemerintahan ini terbentuk belum sepenuhnya dirasakan warga memihak kepada kepentingan orang banyak. Malah yang lebih terkesan hanya untuk mengejar kemewahan, mempercantik penampilan, dan membiarkan kepentingan masyarakat berjalan apa adanya.

Contoh-contoh pembangunan yang tidak memihak pada kepentingan rakyat itu antara lain menggubah Lapangan Merdeka menjadi Taman Kota, pembuatan trotoar di sepanjang jalan A. Yani, dan pembuatan plat beton di sejumlah tempat yang lebih tinggi dari badan jalan sehingga menyulitkan lalulintas, serta pembangunan berbagai proyek lain yang sebenarnya kebutuhan untuk itu belum begitu mendesak.

Kondisi ini terntunya diperparah lagi karena ada fasilitas-fasilitas umum tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat malah dibaikan. Contohnya yang paling anyar adalah pasar ikan. Bertahun-tahun tempat yang tiap hari dipergunakan warga untuk bertransakasi kebutuhan utama itu sampai sekarang belum ada perhatian serius dari pemerintah.

Demikian juga pasar sayur. Kaum ibu yang lebih dominan mendatangi kedua tempat itu setiap hari mengeluh karena tiap memasuki dua kawasan tersebut tak ubahnya seperti berjalan di tengah sawah yang baru siap dibajak. Keluhan yang sama juga dialami para pedagang, mereka seperti berjualan di kawasan yang baru saja dilanda bencana luapan lumpur. Biarpun tempatnya bagaikan kandang kambing tapi pengutipan untuk retribusi jalan terus.

Pungutan-pungutan yang dilakukan terhadap pedagang dan masyarakat itu juga menggambarkan karakter lain Kota Langsa yang mendekati perangai bandar judi. Demi untuk mengejar pendapatannya, Pemerintah Kota Langsa tidak segan menguras recehan kecil dari warga untuk memenuhi pundi-pundinya. Selain retribusi dari “kandang kambing” tadi juga sangat jeli melihat setiap peluang yang ada. Termasuk memperluas wilayah pungutan parkir hampir ke seluruh pelosok.

“Wilayah parkir di Kota Langsa mungkin yang terluas di Indonesia,” kata T. Faisal salah seorang pemuda Langsa yang mengaku geram melihat kenyataan tersebut. Setiap ada orang parkir kenderaannya walaupun untuk melakukan foto copy satu lembar KTP di pinggir kota tetap harus bayar, yang belum dipungut biaya parkir hanya saat mengunjungi pesta dan melayat ke tempat orang meninggal dunia, ujarnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar