Rabu, 18 Agustus 2010

Aceh Utara Yang Nelangsa


Aceh Utara Yang Nelangsa

Oleh Ibnu Sa’dan

Haba Ralyat

AWAN-AWAN seperti kapas berwarna biru lembut turun dari langit sepanjang pantai Ulee Rubek, Kecamatan Seunudon, Kabupaten Aceh Utara. Dengan bobotnya yang ringan, awan-awan itu mengapung rendah ingin menyentuh permukaan laut yang surut jauh. Hamparan pantai pun menjadi semakin lebar, beratus-ratus hektare luasnya, dan airnya yang hanya setinggi lutut  meninggalkan pohon-pohon kelapa dan cemara yang membujur di sepanjang pantai.

Semua orang tahu, pemandangan memukau dari awan-awan kapas biru muda itu dapat menjadi penghibur bagi setiap mata yang memandanynya, tapi dia tidak akan pernah menjadi sahabat bagi jiwa masyarakat Aceh Utara sekarang ini, karena sejak terdengar berita Rp. 220  milyar  uang daerah lenyap dari kas pemda seluruh lapisan masyarakat daerah terkaya di Aceh itu telah berubah menjadi sebuah komunitas manusia yang geram dan gelisah, bahkan tidak sedikit yang marah-marah tapi tidak tahu harus ditumpahkannya kemana.

Kabupaten Aceh Utara yang kaya raya dengan hasil gas alam dari kandungan perut buminya pun menjadi daerah yang nelangsa. Menyusul tidak tentunya nasib uang yang hilang dalam simpanan di sebuah bank di pulau jawa, kini kedua pimpinan daerah, bupati dan wakil bupatinya pun telah pula menjadi tersangka. Jika status mereka naik lagi menjadi terpidana, Aceh Utara benar-benar semakin nelangsa. Pimpinan daerah hasil pilihan langsung masyarakat dalam pilkada lalu ternyata tidak mampu membawa daerah itu melaju meninggalkan kemiskinan sebagain besar masyarakatnya.

Harapan masyarakat ketika memilih kepala daerah empat tahun lalu agar bisa membuat perubahan ke arah yang lebih baik pun ikut menguap, seperti hilangnya pemandangan indah dari awan-awan kapas kelabu yang perlahan-lahan berubah menjadi mendung hitam, namun tidak menjanjikan bakal turun hujan, karena angin topan terus bertiup kencang mengarak mendung hitam itu ke tengah laut.

Seluruh lapisan masyarakat Aceh Utara sekarang ini boleh marah dan meradang. Tapi kepada siapa kemarahan itu mau ditujukan. Karena buah yang mereka terima sekarang ini adalalah hasil dari bibit tanaman yang mereka tuai sendiri,empat tahun lalu,  ketika kepercayaan dalam pilkada sepakat mereka berikan kepada dua figur itu yang kini telah menjadi tersangka. Mau tidak mau, masyarakat Aceh Utara harus mampu menerima kenyataan itu dengan dada yang lapang. Dan bisa menjadi pelajaran pada masa mendatang, ketika akan menetukan pilihan harus menggunakan akal pikiran, tidak cukup hanya mengandalkan perasaan.

Peristiwa yang menimpa warga masyarakat Kabupaten Aceh Utara kali ini, kita harapkan tidak lagi terulang di daerah-daerah lain pada masa yang akan datang. Karena tidak lama lagi, banyak daerah di Aceh kembali akan memilih kepala daerah baru pada pilkada yang kemungkinan waktunya sekitar pertengahan tahun depan. Orang-orang yang tidak kapabel dalam SDM sebaiknya jangan lagi diajukan sebagai calon, karena menjadi kepala daerah itu bukanlah perkerjaan yang mudah, tidak cukup hanya bermodalkan kejujuran.

Dalam hal kasus Bupati dan Wakil Bupati Aceh Utara, kita tidak bermaksud mendahului putusan pengadilan, kedua mereka jangan dulu kita salahkan, tapi kenyataan tidak bisa kita bantahkan uang Rp. 220 milyar yang seharusnya bisa memakmurkan kehidupan rakyat sampai sekarang belum jelas nasibnya, apakah bisa dibawa pulang. Kita hanya bisa berharap, proses hukum yang sedang berjalan semoga kepentingan masyarakat jangan sampai dikorbankan. Siapapun yang dihukum atau dibebaskan, sebaiknya uang rakyat Rp. 220 milyar harus diutamakan dapat terselamatkan. Semoga!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar