CINTA PERAIH SUKSES
Oleh : TARMIZI
Cerita memori dari Tara Akhena, “masa remaja itu begitu indah”,
ungkapnya, ia mulai bercerita :”saat itu disebuah desa di pinggiran
kota kecil aku berdomisili, aku dibesarkan disitu, hingga pada suatu
ketika aku lagi duduk diteras rumah nenek yang kebetulan tak jauh dari
rumah ku, datanglah dua orang perempuan muda nan cantik yang memang
aku kenal, mereka tetangga desa ku, mereka kakak beradik, kakaknya
langsung masuk kedalam menemui kak Ima cucu nenek, sedangkan adiknya
duduk didepan ku diluar, ada Ati keponakan ku satu kelas sama dia,
yang sebelumnya duduk bersama ku diteras, dia pakai baju warna kuning
muda sedikit ngepas untuk ukuran badan dia yang ABG aku masih ingat
sekali, dia waktu itu masih kelas dua MTsN sedang aku kelas tiga SMP.
Waktu terus berlalu hari-hari mulai teringat akan dia, wajahnya mulai
OL di ingatanku ingin rasanya aku cancel rasa itu, namun sia-sia, rasa
itu terus menyerangku, bagaikan virus yang sedang menyerang notebook
ku, aku kehabisan akal untuk membendung perasaan itu, banyak sudah
anti virus yang aku gunakan tapi perasaan itu tak kunjung hilang,
dengan rasa sedikit malu aku berkonsultasi sama abang sepupu, tetapi
apa katanya “Format saja kalo lo ngak mo terima rasa cinta elo” ini
gila dalam hati aku karena itu mustahil aku lakukan, aku selalu
memohon pada sang Ilahi Rabbi untuk bisa melupakan dia, "Ya Allah Ya
Tuhanku berilah kekuatan padaku untuk melupakan dia dari ingatanku",
kadang aku berpikir mungkin inilah rasa cinta, kalau bener ini cinta
berarti rahmat ilahi telah sampai padaku kerena menurut salah satu
buku yang pernah aku baca berjudul Sufi Sang Tokoh Terkemuka di Dunia,
cinta itu adalah rahmat sang ilahi yang abadi untuk selama-lamanya,
demikian salah satu bait dalam buku yang masih kuingat.
Pagi itu aku kembali bersekolah seperti biasa dengan berjalan kaki,
setiap pagi sepanjang jalan selalu dipenuhi siswa dan siswi bagaikan
parade tahunan yang ramai diikuti peserta, sekolah ditempat itu saling
berdampingan mulai dari SD, MIN, SLTP, MTsN, SLTA dan MAN berada pada
satu titik dipusat kecamatan, aku terus berjalan dengan langkah pasti
dengan sebuah tas ransel di punggungku, baju kemeja putih tipis celana
biru telah mengantarku menjadi remaja yang keren dan berpenampilan
rapi mata binarku terus meratap hari esok yang ceria, tanpa sengaja
mataku melirik kesamping kiri langkahku terasa sulit melangkah “Ya
Allah” desisku, badanku mulai bergetar ternyata dia di seberang sana,
nafasku terasa berat aku mulai grogi dan salah tingkah, karena ngak
tahan lagi dengan getaran itu, aku berteriak “ANDiiiii TUNGGuuuUU…!!”
yang kebetulan berada tak jauh dari depanku, aku berlari kecil
menghampirinya, aku tidak peduli dengan seribu mata melihat kearahku
karena teriakan ku memanggil Andi sahabat ku itu.
Aku duduk diam dalam ruang belajar, aku masih terbayang wajah sang
gadis jelita yang membuat hatiku bergetar, Bapak guru berdiri didepan
kelas. kami memberinya salam kemudian kami dipersilahkan duduk
kembali, Pak Ali namanya, dia adalah guru yang dikenal sangat kejam
disekolah kami, dia mulai membahas satu persatu bab tentang wawasan
nusantara, aku tidak bisa berkonsentrasi, wajah Meina terus
membayangiku, Meina adalah nama gadis yang tadi pagi aku lihat, yang
selama ini menggangu hari-hariku, aku mulai terbayang wajahnya yang
baby face, mata yang sedikit sipit serta kulitnya yang putih berseri
hampir mirip orang tionghoa sesuai dengan namanya, aku terus ingat dia
dan semakin berandai-andai, “Tukhhh..!,” aku terkejut kepalaku terasa
sakit sepotong kapur tulis telah mengenai kepala ku, aku terjaga dari
hayalan ku dengan wajah merah kecewa, karena hayalanku putus begitu
saja, ternyata Pak Ali telah melempariku, “sini kamu..!” dengan suara
beringas dia memanggilku.. “Apa yang Bapak jelaskan barusan?” Tanya
nya, aku tertunduk dan terdiam, aku menyadari memang aku ngak tau
apa-apa karena terlalu asyik dengan hayalanku, “phuk..phuk,,,!!!,” Aku
memegang mukaku yang terasa pedis oleh tamparan Pak Ali,, aku mulai
mereview omongan kakak kelas yang mengatakan “hati-hati kalo sama Pak
Ali dia tidak sungkan untuk menampar kalo lagi marah”. “Mungkin inilah
maksud kakak itu kemarin,” pikirku.
Bel sekolah berbunyi “Hore boleh pulang..!” teriak para siswa,
“sekarang kalian boleh pulang..!”, kata Bu Any yang memang mengajar
jam terakhir dikelas kami, dengan dibakar teriknya matahari serta
perut yang mulai keroncongan aku berjalan setapak demi setapak
kadang-kadang berlari kecil mencari tempat berlindung dibawah pohon di
pinggiran jalan guna menghindar dari panasnya sengat matahari,
sesampai dirumah aku buru-buru menuju kekamarku mengganti baju dan
langsung menuju meja makan yang memang sudah disiapkan makan siang
oleh sang mamaku tercinta.
Malamnya aku kembali melanjutkan aktifitasku, seperti biasa siap
pulang dari tempat pengajian aku mengulang pelajaran-pelajaran yang
pernah aku dapat dari sekolah, pena di tangan, buku bacaan telah aku
buka, kali ini mulai merasakan hal yang aneh aku mulai tidak bisa
berkonsentrasi dengan kebiasaanku, wajah Meina terus membayangiku.
Pena ditanganku mulai mengayun-ayun pada kertas kosong yang biasa aku
gunakan untuk menulis hitungan pelajaran yang menggunakan rumus, tanpa
sadar aku mulai menulis bahasa perasaanku, aku mencoba menulis sebuah
surat untuk Meina biar dia tau tentang perasaanku, aku sudah tidak
sanggup lagi menahan perasaanku, aku ingin secepatnya dia tau akan
perasaanku, aku tak ingin terus-terusan tersiksa oleh
bayang-bayangnya, ini bisa mengganggu konsentrasi belajarku aku tidak
mau rangking pertama yang selama ini aku dapat dengan bersusah payah,
harus aku lepas ke orang lain hanya karena terbayang wajah Meina, satu
persatu sobekan kertas mulai berjatuhan dari atas meja belajarku, aku
belum bisa mendapatkan bahasa indah untuk isi surat cinta pertamaku,
“to sobitku di tempat” aku mulai menulis lagi, namun aku masih belum
menemukan bahasa yang indah, sekali-kali aku membuka buku kahlil
gibran barang kali bisa membantu, pikirku.. Jam sudah menunjukan pukul
empat kurang lima menit mataku mulai terasa lelah, surat cintaku sudah
rampung aku kerjakan, aku merebahkan badanku ketempat tidur,
mudah-mudahan Meina senang menerima dan membaca suratku besok pagi.
“Kuuuk uk…,” suara ayam terdengar satu persatu dari kejauhan, aku
terjaga dari tidurku, mataku masih terasa pedis dan masih sulit untuk
aku buka, “Allahu akbar, Allahu Akbar”. suara azan juga terdengar
bersahut-sahutan sangat syahdu, pertanda panggilan untuk menyembah
sang Ilahi Rabbi. suasana diluar masih itam nan gelap, embun pagi
masih bersandar manis dipucuk-pucuk dedaunan, angin menghembus
perlahan menembus tembok dan kaca jendela rumahku, dingin begitu
terasa menembus pori-pori sampai ketulang belulangku membuat aku
semakin menggigil, cobaan tuhan seakan menimpaku aku berjuang
mempertahan iman melawan setan menunaikan kewajibanku untuk shalat
shubuh, aku sangat ceria pagi ini hatiku sangat tenang, beban yang
selama ini membebaniku terasa hancur bertaburan, aku seperti kapas
yang melayang-layang diudara terbawa oleh hembusan angin kesana kemari
bergoyang-goyang diudara, sedikit sempoyongan aku berjalan
perlahan-lahan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudh’u
melaksanakan shalat shubuh.
Mobil angkutan kota mulai melintas satu persatu melewati
coretan-coretan putih aspal membawa nyak-nyak penjual sayur yang
hendak menggais nafkah diemperan toko-toko para saudagar, diatas
langit terlihat cerah sang surya juga mulai mengintip dibalik batang
kelapa nun jauh disana, aku berdiri dipinggiran jalan sambil memeluk
tubuhku, aku menunggu Ati temen Meina, maksudku tak lain untuk menitip
surat yang aku tulis semalam sama dia, hatiku mulai dekdegan. “lama
banget sich Ati, jangan-jangan ngak sekolah pula dia”, pikiranku
kacau, belum habis pikiran itu bertanya-tanya Atipun kelihatan, wow
senengnya hatiku, “tumben cepet banget lo pagi ini udah jadi penjaga
sekolah ya?”, gurau Ati, aku hanya tersenyum, “Ati bantu aku napa?
Tolong sampaikan surat ini sama Meina ya!”, pintaku sambil
mengeluarkan sebuah surat dari kantong bajuku, Ati mengambil suratnya,
cepat-cepat aku lari, aku tak peduli kalau Ati keheranan melihat
tingkahku, sekitar sepuluh meter aku berlari dari Ati aku berhenti dan
dan berpaling melihat kearah Ati, “Jangan lupa ya! Ntar sore aku
tunggu kabar dari lo ya..!, teriakku, aku terus berlalu dari Ati.
Sore itu siap main bola kaki aku kerumah Ati untuk mendengarkan kabar
ataupun mengambil balasan surat dari Meina sekiranya ada, besar
harapanku. sesampai dipintu pagar aku melihat seorang wanita setengah
baya sedang menyiram bunga, “masuk nak..!,” sapanya ramah, dia ibunya
Ati orang kampung sering memanggilnya Cek Mah, “Iya bu terima kasih,
Ati nya ada bu?”, Tanyaku. “mo tanya kabar yang tadi pagi ya? Cian
dech lo, Meina ngak bilang apa-apa, dia ngak mau balas surat elo”.
suara perempuan dari dalam rumah, Ati yang baru siap mandi dengan
rambut yang masih basah pelan-pelan menuju keteras rumah, dimana aku
sedang berdiri dihalaman, aku terdiam seribu bahasa badanku terasa
lemes, aku bagaikan orang yang tak bergairah, pikiranku hampa, aku
merasa seperti kehilangan permata yang sangat berharga yang paling aku
sayangi, aku tertunduk terdiam sembari membalikkan badan membelakangi
Ati, “Akhena mau kemana?” Tanya ibunya Ati, aku tidak menghiraukan
kata-kata itu, aku terus berjalan perlahan begitu melewati pintu pagar
rumah Ati aku langsung berlari menuju arah rumahku, hatiku hancur
harapanku sirna, aku sangat sedih dan kecewa sekali, surat yang begitu
susah payah aku buat, ternyata tak ada tanggapan apa-apa.
Sejak kejadian itu hari-hariku mulai tidak bergairah, aku seperti
orang putus asa, sering duduk melamun sendirian. Melihat hari-hariku
yang tidak bergairah mama diam-diam mencari informasi apa yang terjadi
pada diriku selama ini, sehingga pada suatu malam siap makan malam,
mama berkata “mama punya berita bagus untuk Akhena..”, “oya! berita
apa tu ma?”, jawabku dengan nada penuh penasaran serta senyum yang
menyembunyikan masalah, memotong kata-kata mamaku, “Akhena nanti
setelah ambil ijazah lanjutin sekolahnya di Banda Aceh saja”, belum
selesai mama bicara “wow asyik.. terima kasih ma,,”. Aku mengambil
tangan mama dan menciumnya aku gembira sekali, ini memang sangat aku
harapkan, aku pingin jauh dari desa ini dan melupakan Meina, aku
merebahkan kepala di pangkuan mamaku, mama mengusap-usap kepala serta
mebelai rambutku, damainya hatiku bersama mama.
Tiga tahun sudah aku meninggalkan kampung halamanku kini aku sudah
kelas tiga SMU tepatnya SMU Negeri 1 di Banda Aceh, sebuah kota
diujung pulau sumatera tepatnya Indonesia bagian barat, setelah sekian
lama aku melupakan Meina kini aku mulai merinduinya lagi, aku masih
belum bisa melupakan dia. mulai saat itu aku sudah sering melakukan
kontak dengan kawan-kawanku yang tinggal di kampung, aku selalu
bertanya-tanya keadaan di kampung pada mereka, sembari aku bertanya
tentang Meina, sampai pada suatu hari aku mendapat kiriman sms dari
Andi, dia mengirimi aku nomor HP Meina, aku mencoba menghubunginya,
kami berbicara panjang lebar, juga berbagi cerita tentang keadaan di
sekolah masing-masing, aku juga bertanya tentang masa lalu “napa ya
waktu itu kamu tidak mau membalas suratku? Kamu ngak suka ya ma aku?”,
tanyaku “ngak aja, aku malas nulis-nulis surat, kalau masalah suka
atau tidak aku belum bisa kasih keputusan dan sampai hari ini aku
masih tetap sendirian” jawabnya polos. Aku kembali mendapat harapan
dan semangat baru untuk mendapatkan dia, “tut..tut…” bunyi dari
handphone ku pertanda pulsa sudah habis, aku pamitan, dia berjanji
akan selalu menerima teleponku, kapan saja setiap aku pingin ngomong
sama dia.
Komunikasi aku sama Meina terus berjalan, hubungan kami semakin akrab,
sampai Aku duduk di bangku kuliah semester tujuh Fakultas Manajemen
Perusahaan Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Namun sudah sebulan ini
aku tidak berkomunikasi dengan Meina kesibukanku terlalu padat di
kampus sehingga tak sedikitpun waktu yang tersisa. pikiranku mulai
tidak enak aku mulai berpikir macam-macam tentang Meina, sakitkah dia?
Aku semakin bertanya-tanya, hingga pada suatu malam aku menerima sms
dari teman ku Dedi yang sedang kuliah S2 di Kuala Lumpur, ia
mengatakan bahwa Meina besok akan menikah dengan seorang pemain bola
kaki di Banda Aceh, aku terkejut aku tidak bisa percaya dengan apa
yang dikatakan Dedi, malam itu juga aku telpon Meina, “iya bener aku
mau menikah besok, datang ya! Aku undang lo..!”, jawab Meina saat aku
Tanya tentang kabar itu, “sory aku tidak bisa datang ke acara kamu
besok, aku tidak sanggup melihat kamu bersanding dengan orang lain,
maafkan aku, do’a ku semoga kau bahagia bersamanya”, ucapku dengan
suara sedikit parau menahan pilu.
Aku tidak percaya kalau Meina tidak mencintaiku, aku yakin pasti ada
sesuatu hingga dia mau menikah dengan lelaki itu tanpa
memberitahukanku sama sekali, pikiran ku sudah berubah seratus derjat,
Setelah kejadian itu aku mulai meningkatkan semangat belajarku,
pengumuman kelulusan kini di umumkan aku mendapat predikat cumlaude
dari kampusku, aku memutuskan untuk melanjutkan studiku ke jenjang S2
dan akhirnya selesai dengan nilai terbaik, banyak sekali aku mendapat
ucapan selamat di media cetak, baik itu dari kawan-kawan bahkan dari
perusahaan juga ada.
Berbagai perusahaan besar mulai meminangku untuk dijadikan karyawan,
hingga akhirnya aku menemukan sebuah perusahaan besar yang langsung
menawariku menjadi manager perusahaannya, bagiku ini merupakan sebuah
kesempatan yang baik, akupun menerima tawaran tersebut. Aku kini bukan
lagi seorang anak kampung yang bodoh dan bandel, aku kini telah
menjadi seorang manager perusahaan besar dengan salery dan fasilitas
mewah yang ku dapat, aku bangga sekali dengan hasil yang ku dapat saat
ini walaupun cintaku tidak bisa ku miliki tapi harapan mamaku dapat
aku penuhi.
Aku menyadari kini aku lebih beruntung dan semua ini tidak terlepas
dari motivasi cintaku untuk Meina, apa telah ku dapat ini tidak harus
menjadikanku orang yang sombong dan angkuh serta kufur nikmat. “terima
kasih cintaku Meina, kau telah memotivasiku menjadi orang yang
sukses,” ucapku dalam hati. dengan menggunakan baju jas rapi dengan
harga mahal dan didampingi asisten pribadi yang setia menenteng tas
punyaku, aku berjalan keluar dari gedung mewah dan megah kantorku
menuju kearah mobil mewah warna hitam mengkilat yang sejak tadi
menungguku pulang kerja.
Mijie Langsa, 26 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar